CB Blogger Lab

Assalamualaikum Warrahamtulahi Wabbarakatuh,,,                                                      Selamat malam rekan-rekan guru, semoga selalu dalam lindungan Allah SWT,,,          
Undang-Undang (UU) Pendidikan Nasional perlu dievaluasi karena banyak aspek yang tidak “nyambung” dengan situasi kondisi masa kini dan menyongsong Abad 21. “Ruh” atau “nyawanya” UU Pendidikan Nasional cenderung tidak menyentuh kebutuhan karakter bangsa Indonesia. Kurikulum Nasional yang berlaku pun lebih menempatkan anak didik pada upaya menjadi manusia pintar, bukannya yang berkarakter. Kemampuan baca tulis dan berhitung menjadi faktor penting pendidikan anak usia dini, padahal semestinya pembangunan karakter tuntas di level pendidikan dasar dan menengah. Di jenjang Pendidikan Tinggi tidak perlu lagi pendidikan karakter.

Demikian inti kesimpulan Konfrensi Nasional Pendidikan Darul Hikam Education Confrence 2016 bertema “Transformasi Pendidikan Menghadapi Abad 21 Melalui Penguatan Peran Budaya Sekolah”, di Grand Tjokro Hotel, Jln. Cihampelas Bandung. Tampil sebagai pemicara, Ny. Otje Popong Djunjunan dan Sodik Mudjahid (anggota DPR RI), Ananto Kusumo (Staf Ahli Bidang Inovasi dan Daya Saing yang mewakili Menteri Anies Baswedan, pen), Sholehuddin (Universitas Pendidikan Indonesia), dan Hari Setyowobowo (Psikolog Unpad). Acara yang diselenggarakan berkaitan dengan Milad Darul Hikam ke 50 tahun itu, akan berlangsung dua hari dan rencananya ditutup oleh Wali Kota Bandung, Ridwan Kamil pada Kamis, 24 Maret 2016 ini.
Menurut Popong, penyelenggaraan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) perlu dievaluasi karena terjadi kekeliruan visi dan misi. Guru PAUD lebih menekankan pada kemampuan anak membaca, menulis, dan berhitung. Padahal semestinya tidak begitu. Anak didik lebih baik dididik dalam hal karakternya. “Dulu, saya pernah memberi masukan ke Kementerian Pendidikan agar PAUD dievaluasi. Bahkan Menterinya, Pak Nuh…sempat bilang akan menindak sekolah dasar yang menolak anak yang belum bisa baca tulis dan berhitung.Namun hingga kini ngga ada penindakan,” tutur Popong.
Dalam kaitan ini, Popong sepakat dengan sejumlah pengamat tentang perlunya reformasi di bidang pendidikan nasional. Pasalnya, momentum reformasi tahun 1998 telah dipahami secara keliru sehingga kebablasan. P-4, mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB) dihapuskan. Akibatnya, terjadilah kekacauan karakter bangsa seperti korupsi kian marak, dan berbagai problem sosial kriminal lainnya.
Secara lebih spesifik, pembicara lainnya, Sodik Mudjahid menyodorkan fakta ihwal kebablasannya sebagian anak bangsa memahami gerakan Reformasi 1998. Saat ini, di lingkungan legislatif pun terjadi beberapa kecenderungan yang jauh dari karakter bangsa Indonesia. Ada wakil rakyat yang memang agamis atau relegius, ada yang hedonis, materialistis, sekuler, dan ingin menghidupkan ateisme. “Saya dan kawan-kawan mencoba menghambat Rancangan UU tentang yang membolehkan perkawinan beda agama. Juga, lama-lama ada rancangan pernikahan sejenis. Ini bahaya,” kata Sodik, yang diamanahkan sebagai Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI.
Dikemukakannya, setidaknya ada tujuh nilai karakter yang harus disosialisasikan yakni Ikhlas, Sabar, Amanah, Disiplin, Peduli, Cerdas, dan Ihsan. Nilai-nilai tersebut, insya Allah bisa untuk menhadpi situasi pendidikan saat ini yang memprihatinkan yakni materialism, hedonism, permisif, narkoba, korupsi, kekerasan, konflik, dllnya. “Sedangkan status pendidikan kita juga darurat, karena tinggiya angka cerai, angka pisah ranjang, angka perselingkuhan, angka KDRT, dan angka nikah beda agama,” ujar Sodik.
Menurut Ananto Kusumo, menyambut abad 21 ini pemerintah memiliki visi baru penyelenggaraan pendidikan yakni “Terbentuknya insane dan ekosistem pendidikan dan kebudayan yang berkarakter dan dilandasi semangat gotong royong”. Setidaknya ada tiga aspek yang ditonjolkanyaitu Insan, Ekosistem, dan Gotong royong dalam penyelenggaraan pendidikan di semua jenjang.
“Kini dilakukan penguatan pada seluruh pelaku pendidikan, ditingkatkan mutu pendidkan dan akses pendidikan, serta penguatan birokrasi dengan melibatkan publik. Demikian halnya Wajar 9 Tahun akan ditingkatkan menjadi Wajar 12 Tahun,” kata Ananto.
Berkaitan dengan situasi dunia pendidikan, kini pemerintah menekankan tentang pentingnya pendidikan menjadi kewajiban di semua lini pendidikan. Jadi, tidak hanya di kelas, oleh guru atau siswa, tapi juga dituntut adanya peran aktif orangtua di rumah. Pasalnya, keberadaan atau interaktif anak lebih banyak waktunya di rumah daripada di sekolah. Karenanya, sekarang dibuat direktorat ke-ayahbunda-an.
Bagi Sholehudin, pendidikan nasional sudah saatnya benar-benar diarahkan pada pendidikan karakter yang berbasis agama. Nilai-nilai keagamaan sudah sepatutnya mendarahdaging di sekolah-sekolah, sehingga tatkala tamat sekolah tidak menjadi orang yang berperilaku melawan nilai-nilai agama seperti korupsi. “Agar bangsa Indonesia ini tetap eksis di abad 21, maka perlu setidaknya nilai-nilai relegi, kebersamaan, tolong menolong, santun sesuai dengan budaya lokal, dan kemampuan hidup berkompetitif tanpa kehilangan jati diri,” tutur Guru Besar UPI yang gemar memasak untuk jemaah masjid kampusnya ini.
Konfrensi yang dibuka secara resmi oleh Direktur Perguruan Darul Hikam, Hj Ruri B Ramadanti ini, juga dihangatkan dengan suasana dialog interaktif bersama psikolog Hari Setyowibowo. Berbagai contoh nilai-nilai positif dan negatif yang mewarnai dunia pendidikan diungkapkan secara gamblang oleh dosen psikolog Unpad tersebut.

Post a Comment